Bolehkah Beramal Berharap Upah/Pahala/Surga
Bolehkah Bekerja Minta Bayaran?
أَعْطُوا
الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikan kepada seorang pekerja
upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah).
فَإِنْ
أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS.
Ath Tholaq: 6).
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيُّ
الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ
“Orang yang menunda kewajiban, halal
kehormatan dan pantas mendapatkan hukuman” (HR. Abu Daud).
Bolehkah meminta upah Dakwah?
Dakwah
adalah sebuah kata yang mulia bagi telinga orang-orang yang memahami ajaran
Islam. Ia merupakan salah satu jalan untuk berjihad di jalan Allah swt. Dalam
berdakwah, seorang da’i harus menyediakan waktu dan tenaganya dalam melakukan
hal yang mulia ini. Seorang da’i juga manusia yang perlu makan, pakaian,
transportasi, dan harus pula menafkahi anak istri seperti orang lain.
عَنِ ابْنِ السَّاعِدِيِّ الْمَلِكِيِّ أَنَّهُ قَالَ: اسْتَعْمَلَنِي عُمَرُ
بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى الصَّدَقَةِ- فَلَمَّا فَرَغْتُ مِنْهَا وَأَدَّيْتُهَا
إِلَيْهِ أَمَرَ لِى بِعُمَالَةٍ. فَقُلْتُ:
إِنَّمَا عَمِلْتُ لِلَّهِ وَأَجْرِي عَلَى اللهِ. فَقَالَ: خُذْ مَا أُعْطِيْتَ فَإِنِّي
عَمِلْتُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَعَمَّلَنِي فَقُلْتُ مِثْلَ قَوْلِكَ. فَقَالَ
لِيْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا أُعْطِيْتَ
شَيْئًا مِنْ غَيْرِ أَنْ تَسْأَلَ فَكُلْ وَتَصَدَّقْ "
Dari
Ibnu as Sa’idy al Maliki, bahwasanya ia berkata: “Umar bin Khattab ra
mempekerjakanku untuk mengumpulkan sedekah. Tatkala selesai dan telah aku
serahkan kepadanya, ia memerintahkan aku untuk mengambil upah.” Lalu aku
berkata:
إِنَّمَا عَمِلْتُ لِلَّهِ
وَأَجْرِي عَلَى اللهِ
”Aku
bekerja hanya karena Allah, dan imbalanku dari Allah.”
Lalu
ia berkata:
“Ambillah
yang telah aku berikan kepadamu. Sesungguhnya aku bekerja di masa Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan seperti apa yang engkau katakan.”
Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:
"
إِذَا أُعْطِيْتَ شَيْئًا مِنْ غَيْرِ أَنْ تَسْأَلَ فَكُلْ وَتَصَدَّقْ "
“Jika
aku memberikan sesuatu yang tidak engkau pinta, makanlah dan sedekahkanlah.” (HR. Muslim)
Hadits
di atas juga menunjukkan bolehnya menerima upah yang tidak dimintanya, karena
upah ini memang sudah menjadi hak bagi seorang da’i.
Asy-Syaikh
Shalih Al-Fauzan hafizhahullah ditanya, “Di sebagian negara mereka
menjadikan menjadi imam dan muadzin di masjid sebagai pekerjaan yang
mendapatkan gaji, tingkatan dan ijazah dan mereka tidak mendapatkan pekerjaan
lain di negara, maka apakah hal ini termasuk menerima upah yang dilarang
ataukah tidak?
Asy-Syaikh
menjawab:
Bukan, ini
bukan termasuk menerima upah yang dilarang, ini (seperti –pent) upah dari
baitul mal yang merupakan haknya. Para muadzin dan imam-imam masjid mereka
mendapatkan hak di baitul mal, seperti para hakim dan para pengajar yang
mengerjakan tugas-tugas keagamaan. Mereka diberi dari baitul mal yang mencukupi
mereka agar mereka bisa konsentrasi atau fokus pada urusan ini. Dan ini
merupakan perkara yang halal –walillahilhamdu– dan telah berlangsung sejak masa
Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun serta perkara yang diamalkan oleh kaum Muslimin.
Hanya saja
siapa yang niatnya adalah untuk mendapatkan harta maka sesungguhnya amal-amal
itu balasannya sesuai dengan niatnya. Siapa saja yang tujuannya hanya ingin
mendapatkan harta jelas dia tidak mendapatkan pahala. Adapun siapa yang niatnya
adalah ibadah dan dia mengambil sebagian harta ini sebagai sarana untuk
membantu dirinya dalam melakukan ketaatan kepada Allah, maka dia mendapatkan
pahala, dibantu dan mendapatkan ganjaran.
Namun Harus
mengutamakan upah akhirat. Jika satu amalan agama yang berkonsekuensi upah di
dunia atau bagian yang diperoleh setelah melakukannya, maka orang-orang beriman
terdorong melakukan amalan tersebut hanya ingin mendapatkan upah, ganjaran dari
Allah semata.
Allah
Ta’ala berfirman:
فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَمَا
سَأَلْتُكُمْ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ ۖ وَأُمِرْتُ أَنْ
أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِين
“Jika
kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun dari
padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya
aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya)”. (QS. Yunus 72)
Bolehkah Sedekah Berharap
Balasan?
firman
Allah Ta’ala,
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ
أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ
لَا يُظْلَمُونَ
“Barangsiapa
membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan
barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan
melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(dirugikan).” (QS. Al An’am: 160).
Firman Allah ta’ala :
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ
سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ
عَلِيمٌ
“Perumpamaan orang yang meninfakkan hartanya di jalan
Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai
ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia
kehendaki[3], dan Allah Maha Luas (karunia-Nya)[4] lagi Maha mengetahui.” (QS Al-Baqarah :
261).
Namun ingatlah bahwa para nabi, sahabat dan salafus salih
mengajarkan agar kita focus berharap balasan di akhirat daripada balasan di
dunia.
اِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ
لِوَجْهِ اللّٰهِ لَا نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَاۤءً وَّلَا شُكُوْرًا
“Sesungguhnya
kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami
tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.”(QS. Al Insan: 9)
Allah
Ta’ala berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا
يُبْخَسُونَ
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ
إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa
yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada
mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia
itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat,
kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di
dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud : 15-16)
Bolehkah
Beramal Berharap Pahala?
Allah sendiri yang memperkenalkan
sistem pahala, yang dalam Al-Quran atau As-Sunnah diterminologikan dengan
beberapa sebutan antara lain: ajr, jazaa’, tsawab. Dalam
terjemahan sering ditulis sebagai pahala saja. Kalau kita lakukan pencarian di
dalam Al-Quran pada ketigakata tersebut, maka kita akan menemukannyapuluhan
kali.
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَاَقَامُوا
الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ لَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka
mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah: 277)
لِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوْا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا اَجْرٌ عَظِيْمٌۚ
“bagi orang-orang yang berbuat
kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar.” (QS. Ali Imran: 172)
Bahkan kita boleh dan Harus
Menghitung-hitung Pahala dalam rangka kebaikan. Imam At Tirmidzi (w. 279 H)
menjelaskan:
وَيُرْوَى
عَنْ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ، قَالَ: ” حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ
تُحَاسَبُوا، وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ، وَإِنَّمَا يَخِفُّ الحِسَابُ
يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا
Umar bin
al-Khaththab ra, beliau berkata:, ”Hitunglah diri kalian sebelum
kalian dihitung (oleh Allah kelak), perbaguslah (amal kalian) untuk menghadapi hari perhitungan
yang amat dahsyat, sesungguhnya perhitungan pada
hari kiamat akan terasa ringan hanya bagi orang yang selalu
menghitung diri mereka ketika di dunia.”
وَيُرْوَى عَنْ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ،
قَالَ: «لَا يَكُونُ العَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ
شَرِيكَهُ مِنْ أَيْنَ مَطْعَمُهُ وَمَلْبَسُهُ»
dan diriwayatkan dari Maimun bin
Mihran, dia mengatakan: “tidaklah seorang hamba disebut
bertakwa hingga dia menghitung dirinya sebagaimana dia menghitung serikat
bisnisnya dari mana makanan dan pakaiannya.” (Sunan at Tirmidzi
juz 4 hal 638)
Namun dalam ‘menghitung pahala’
tersebut harus disertai sikap khawatir
jika amalannya tertolak. Allah berfirman :
وَالَّذِيْنَ
يُؤْتُوْنَ مَا اٰتَوْا وَّقُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ اَنَّهُمْ اِلٰى رَبِّهِمْ
رٰجِعُوْنَ ۙ
“Dan orang-orang yang memberikan apa
yang mereka berikan dengan hati yang penuh ketakutan bahwa sesungguhnya mereka
akan kembali kepada Rabb-Nya.” (QS. Al Mukminun: 60)
Ummum Mukminin 'Aisyah RA
mengatakan:
يَا رَسُولَ اللَّهِ (وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ
وَجِلَةٌ) أَهُوَ الرَّجُلُ الَّذِى يَزْنِى وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ
قَالَ :
"Wahai
Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dalam ayat 'Dan orang-orang yang memberikan
apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut', adalah orang yang
berzina, mencuri dan meminum khomr?"
Rasulullah
lantas menjawab,
لاَ يَا بِنْتَ أَبِى بَكْرٍ – أَوْ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ – وَلَكِنَّهُ
الرَّجُلُ يَصُومُ وَيَتَصَدَّقُ وَيُصَلِّى وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لاَ يُتَقَبَّلَ
مِنْهُ.
"Wahai
putri Ash-Shidiq! Yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah seperti itu.
Bahkan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah orang yang yang berpuasa,
yang bersedekah dan yang salat, namun ia khawatir amalannya tidak diterima."
(HR At-Turmidzi)
Bolehkah
Beramal dalam rangka mencari surga?
Sebagian orang terlalu berlebihan dan salah faham tentang
keikhlasan. Orang yang beramal sholeh karena mencari surga dinamakan oleh
Robi'ah al-'Adawiyah dengan "Pekerja yang buruk". Ia berkata:
مَا
عَبَدْتُهُ خَوْفًا مِنْ نَارِهِ وَلاَ حُبًّا فِي جَنَّتِهِ فَأَكُوْنَ
كَأَجِيْرِ السُّوْءِ بَلْ عَبَدْتُهُ حُبًّا لَهُ وَشَوْقًا إِلَيهِ
"Aku tidaklah menyembahNya karena takut neraka, dan
tidak pula karena berharap surgaNya sehingga aku seperti pekerja yang buruk.
Akan tetapi aku menyembahNya karena kecintaan dan kerinduan kepadaNya"
(Ihyaa' Uluum ad-Diin 4/310)
Tentunya
ini adalah pendapat yang keliru. Karena Allah telah mensifati para nabi dan
juga pemimpin kaum mukminin bahwasanya mereka beribadah kepada Allah dalam
kondisi takut dan berharap.
Allah berfirman:
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ
يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ
رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Orang-orang yang mereka seru itu,
mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang
lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya (yaitu surga) dan takut
akan azab-Nya (yaitu neraka); Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang
(harus) ditakuti.” (QS Al-Israa’ : 57)
Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa
sallam memerintahkan kita untuk berdoa meminta syurga.
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللَّهُ
لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ
السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَإِذَا
سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ
وَأَعْلَى الْجَنَّةِ أُرَاهُ فَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
Di surga
itu terdapat seratus tingkatan, Allah menyediakannya untuk para mujahid di
jalan Allah, jarak antara keduanya seperti antara langit dan bumi. Karena itu,
jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Firdaus, karena sungguh dia adalah
surga yang paling tengah dan paling tinggi. Di atasnya ada Arsy Sang Maha
Pengasih, dan darinya sumber sungai-sungai surga.” (HR.
Al Bukhari)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam juga berdoa:
اللهم إني أسألك الجنة وأعوذ بك
من النار
“Ya Allåh, Aku Meminta Kepadamu
Surga Dan Berlindung Kepadamu Dari Neraka” (HR. Ahmad)
---
Simak pembahasan kajian ini di : https://youtu.be/--0gB3cqpI0
Komentar
Posting Komentar