6 Syarat Taubat Diterima
Pengertian Taubat
Taubat atau dalam
Bahasa Arabnya juga تَوْبَة
(taubah) berasal dari perkataan تَوَبَ (tawaba)
yang dari segi bahasa bermaksud kembali. Seseorang itu dikatakan تابَ (taaba
– telah bertaubat) sekiranya dia telah kembali dari melakukan dosa atau telah
meninggalkan dosa itu.
Adapun dari sudut
istilah, apabila dikatakan seseorang itu telah bertaubat maksudnya dia telah
kembali dari melakukan maksiat atau dosa terhadap Allah untuk dia mentaati
Allah.
Semua Manusia Berdosa
كُلُّ
بَنِي آدَم خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
“Setiap anak Adam
melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah
orang-orang yang bertaubat.” (HR. Ahmad)
Karasteristik
manusia adalah selalu melakukan kesalahan dan dosa. Tergelincir dan terjatuh
dalam kubangan dosa adalah perkara lumrah yang biasa terjadi. Sehingga bukanlah
yang dituntut dari manusia bersih tidak pernah melakukan dosa. Namun yang
dituntut dari mereka adalah bertaubat ketika berbuat dosa. Lalu adakah manusia
yang tidak memiliki kesalahan dan dosa ?
Jika manusia tidak
melakukan dosa, maka Allah -subhanahu wata’ala- akan menciptakan manusia yang
melakukan dosa, lalu Allah akan mengampuni mereka. Sebagaimana yang tergambar
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Ayyub -radhiyallahu
‘anhu- ia berkata ketika hendak meninggal: “Aku menyembunyikan dari kalian satu
ilmu yang aku dengar dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- beliau
bersabda” :
لَوْلَا
أَنَّكُمْ تُذْنِبُونَ لَخَلَقَ اللهُ خَلْقًا يُذْنِبُونَ يَغْفِرُ لَهُمْ
“Seandainya
kamu sekalian tidak mempunyai dosa sedikit pun,
niscaya Allah akan menciptakan suatu kaum yang melakukan dosa untuk diberikan
ampunan kepada mereka.” (HR. Muslim)
Allah Cinta Orang Bertaubat
اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ
التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang
menyucikan diri.” (QS. Al Baqarah : 222)
Untuk Orang Yang Melampaui Batas
قُلْ
يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ
رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ
الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah:
‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni
dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang maha pengampun lagi Maha
penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53).
Ampunan Allah lebih Banyak daripada Dosa Manusia
قَالَ الله تَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا
دَعَوْتَنِيْ وَرَجَوْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ مِنْكَ وَلاَ
أُبَالِيْ يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوْبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ
اسْتَغْفَرْتَنِيْ غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِيْ يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ
أَتَيْتَنِيْ بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيْتَنِيْ لاَ تُشْرِكْ بِيْ
شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً.
Anas meriwayatkan, aku mendengar Nabi bersabda, Allah
berfirman: “Allah Ta’ala berfirman: “Wahai anak Adam, sesungguhnya jika
engkau memohon dan mengharap kepada-Ku, niscaya Aku ampuni dosa-dosamu yang
lalu dan aku tidak peduli. Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu sampai ke
awan langit, kemudian engkau memohon ampun kepada-Ku niscaya Aku mengampunimu
dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau datang
kepada-Ku dengan dosa-dosa sepenuh bumi dan kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak
menyekutukan-Ku dengan sesuatupun, niscaya Aku datangkan utukmu ampunan sepenuh
bumi pula.” (HR. At-Tirmidzi).
Allah gembira dengan orang bertaubat
اللَّهُ
أَفْرَحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ سَقَطَ عَلَى بَعِيرِهِ وَقَدْ
أَضَلَّهُ فِى أَرْضِ فَلاَةٍ
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik Al
Anshori, pembatu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata
bahwa beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah itu begitu
bergembira dengan taubat hamba-Nya melebihi kegembiraan seseorang di antara
kalian yang menemukan kembali untanya yang telah hilang di suatu tanah yang
luas.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
إِنَّ
اللَّهَ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ
أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلاَةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ
وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ
فِى ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ
بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ
الْفَرَحِ اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِى وَأَنَا رَبُّكَ.أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ
الْفَرَحِ
“Sesungguhnya Allah sangat gembira
dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat pada-Nya melebihi kegembiraan
seseorang di antara kalian yang berada di atas kendaraannya dan berada di suatu
tanah yang luas (padang pasir), kemudian hewan yang ditungganginya lari meninggalkannya.
Padahal di hewan tunggangannya itu ada perbekalan makan dan minumnya. Sehingga
ia pun menjadi putus asa.
Kemudian ia mendatangi sebuah pohon
dan tidur berbaring di bawah naungannya dalam keadaan hati yang telah berputus
asa. Tiba-tiba ketika ia dalam keadaan seperti itu, kendaraannya tampak berdiri
di sisinya, lalu ia mengambil ikatnya.
Karena sangat gembiranya, maka ia
berkata, ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Rabb-Mu.’ Ia telah
salah mengucapkan karena sangat gembiranya.” (HR.
Muslim).
Syarat 1 : Penuh penyesalan.
Bila kesalahan itu berhubungan dengan hak-hak Allah,
menurut para ulama ada tiga cara yang harus dilakukan. Pertama,
menyesali segala kesalahan yang sudah diperbuat.
النَّدَمُ تَوْبَةٌ
“Penyesalan adalah taubat” (HR Ibnu Majah dan Ahmad)
Syarat
2 :
Meninggalkan Perbuatan Dosa dan
janji tak mengulangi lagi
Syarat
kesempurnaan taubat selanjutnya adalah
meninggalkan perbuatan dosa tersebut. Termasuk dalam syarat ini adalah, jika
dosa yang dilakukan berhubungan dengan manusia, misalnya terambil hak
seseorang, tercorengnya kehormatan seseorang akibat perbuatan dan perkataan
kita, serta hal lain yang membuat orang lain merasa tersakiti dan terdzolimi,
maka pelaku dosa wajib untuk meminta maaf, mengembalikan hak yang terambil,
memulihkan kehormatannya, sehingga orang tersebut merasa ridho dan memaafkan
kita.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى
اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada
Allah dengan taubat yang semurni-murninya," (QS. At Tahrim: 8).
bertekad untuk tidak mengulangi lagi kesalahan itu dan
kesalahan yang lain. Cara kedua ini digali dari firman Allah,
وَالَّذِيْنَ
اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ
فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗ
وَلَمْ يُصِرُّوْا عَلٰى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
“dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan
keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari
pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka
mengetahui.,” (QS Ali
Imran: 135).
Karena orang yang tidak menarik diri untuk lepas dari
dosa, maka ia disebut orang yang melanggengkan perbuatan dosanya itu. Seseorang
yang menarik diri untuk lepas dari dosa itu dan ia berniat untuk kembali
setelah beberapa waktu, maka ia juga disebut sebagai orang yang melanggengkan
dosa.
Syarat 3 : mengembalikan hak-hak kepada pemiliknya.
Lalu, bagaimana bila kesalahan
itu berhubungan dengan hak-hak sesama? Berikut 5 cara yang diajarkan Syekh
Nawawi Banten untuk membebaskannya:
1. Bila Terkait Harta
Untuk membebaskannya dari tanggungan
itu (bila berkait dengan harta) dipersyaratkan untuk memberikan lagi harta itu
(jika masih ada) dan berniat menggantinya (jika sudah tidak ada). Atau, ia
meminta kehalalan orang yang berhak akan harta itu agar yang bersangkutan mau
menghalalkannya.
2. Wajib Diberitahukan
Kita wajib
memberitahukan pada yang bersangkutan. Pemberitahuan ini tidak berlaku
bila hak itu berupa had (kejahatan yang ada hukumannya). Dalam hal ini, ia boleh
menutupi dan menyimpan kejahatannya itu sendiri. Seseorang yang mencuri harta
orang lain dan ingin mengembalikannya, maka ia tidak wajib untuk memberitahukan
bahwa ia mengambilnya dengan cara mencuri.
3. Jika yang Berhak Sudah
Meninggal
Jika orang yang berhak itu sudah
meninggal dunia, maka ia harus menyerahkannya pada ahli warisnya. Jika ahli
warisnya tidak ada dan terputus informasi mengenai orang yang berhak itu, maka
ia harus menyerahkannya pada hakim yang ia yakini tindak-tanduknya dan tingkat
keberagamaannya. Jika tidak ada juga hakim yang seperti itu, maka ia harus
menyerahkannya pada seorang alim yang beragama baik.
4. Menyerahkan untuk
Kepentingan Umum atau Menyedekahkan
Jika si alim itu berkeberatan, maka
ia harus menyerahkannya untuk kepentingan umum seperti untuk membuat jembatan
yang dibangun dengan biaya hutang. Itu pun jika ia menemukannya. Jika sulit
ditemukan juga atau ia tidak mampu melakukannya karena malu atau yang lainnya,
maka ia harus menyedekahkannya pada orang yang lebih membutuhkan. Ia pun bisa
menggunakan uang itu untuk kepentingan yang mendesak.
5. Bila Tidak Mampu
Semua ketetapan di atas harus
dilakukan jika ia dalam kondisi berkecukupan. Jika ia dalam kesulitan keuangan,
maka ia harus berniat untuk melunasinya pada saat ia mampu dan berkeuangan
cukup. Jika ia mati sebelum melakukan semua itu, maka yang harus diharapkannya
adalah ampunan Allah dan mengharapkan orang yang berhak memperoleh gantinya.
Ini semua juga hanya berlaku apabila
ia tidak terus-menerus melakukan pelanggaran hak antarmanusia itu atau
menunda-nunda pengembalian harta yang ditilapnya. Jika itu yang terjadi hingga
ia menghebuskan nafasnya yang terakhir dan belum mengembalikan hak orang lain,
maka ganti harta yang belum halal itu akan diambilkan dari kebaikan yang
dipunyainya seukuran kezaliman yang ia lakukan. Jika habis kebaikannya, maka
kejelekan orang yang terzalimi akan ditimpakan padanya. Baru setelah itu, ia
dilemparkan ke neraka.
Terkait dengan kafarat (pelebur
dosa) menggunjing, Al-Hakim meriwayatkan dari Anas dari Rasulullah Saw. bahwa
salah satu caranya adalah memohonkan ampunan pada orang yang sudah digunjing.
Yang menggunjing harus mengatakan, “Ya Allah, ampunilah kami dan ampunilah
dia.” Ini jika gunjingan itu belum sampai pada orang yang digunjing. Bila
gunjingan itu sampai pada orang yang digunjing, maka dipersyaratkan meminta
kehalalannya dari yang bersangkutan.
Jika ini sulit dilakukan, karena
yang bersangkutan sudah meninggal dunia atau karena jauh tidak diketahui
alamatnya, maka ia harus memohonkan ampun pada Allah untuknya dan tidak
diharuskan meminta kehalalan pada ahli warisnya. Ini seperti yang disampaikan
Ali bin Ahmad Al-Jizi dalam karyanya Tuhfah Al-Khawwâsh.
Syarat 4 : Mengadakan perbaikan setelah taubat.
وَإِذَا جَاءَكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِنَا فَقُلْ سَلَامٌ
عَلَيْكُمْ ۖ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ ۖ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ
مِنكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِن بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ
غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Apabila orang-orang yg beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah:
‘Salaamun-‘alaikum. Rabbmu telah menetapkan atas dirinya kasih sayang, (iaitu)
bahawasanya barangsiapa yg berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan,
kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. Al An’aam: 54.)
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang
baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk” (QS. Huud: 114)
Rasulullah
shalallahu alaihi wasalam bersabda
اِتَّقِ
اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah
kamu kepada Allah dimana dan kapan saja kamu berada, ikutilah keburukan dengan
kebaikan niscaya kebaikan itu menghapus keburukan itu, dan pergaulilah manusia
dengan ahlak yang baik.” (HR. at-Tirmidzi).
Jika kesalahan itu adalah
membicarakan keburukan orang lain di hadapan seseorang, maka kebaikan itu adalah
dengan memuji orang tadi di hadapan orang yang diajak berghibah sebelumnya,
atau ia beristighfar kepada Allah.
Jika keburukannya itu adalah mencela
seseorang di hadapan orang lain maka kebaikannya itu adalah menghormatinya,
memuliakannya, dan menyebutnya dengan kebaikan.
Orang yang kejahatannya adalah
membaca buku-buku yang buruk, maka kebaikannya adalah membaca Al-Qur’an,
hadist, dan ilmu-ilmu Islam.
Orang yang keburukannya menghardik
kedua orangtua maka kebaikannya itu adalah dengan berlaku sebaik-baiknya kepada
kedua orangtuanya dan memuliakannya, serta berbuat baik kepadanya, terutama
saat mereka dalam usia lanjut.
Orang yang keburukannya adalah
memutuskan silaturahmi serta berbuat buruk kepada saudara maka kebaikannya
adalah berbuat baik kepada mereka serta berusaha menjaga persaudaraan, walaupun
mereka memutuskannya, dan memberi mereka walaupun mereka belum pernah memberi.
Jika keburukannya
adalah duduk dalam tempat hiburan, main-main, dan melakukan yang haram maka
kebaikannya itu adalah duduk di tempat kebaikan, dzikir, dan ilmu yang
bermanfaat.
Syarat 5: Berteman
dengan orang yang baik
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ
كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ
يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا
طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ
تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
“Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik
(shalih/shalihah) dan teman yang jahat adalah seperti pembawa minyak wangi dan
peniup api pandai besi. Pembawa minyak wangi mungkin akan mencipratkan minyak
wanginya itu atau engkau menibeli darinya atau engkau hanya akan mencium aroma
harumnya itu. Sedangkan peniup api tukang besi mungkin akan membakar bajumu
atau engkau akan mencium darinya bau yang tidak sedap”. (HR. Bukhari
dan Muslim)
Kisah Pembunuh 99 Orang
وَعَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ
بْنِ سِنَانٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهٌ : أَنَّ نَبِيَّ الله صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ
تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ نَفْساً فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ
عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ . فَقَالَ : إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وتِسْعِيْنَ نَفْساً
فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوبَةٍ فَقَالَ : لاَ
فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بهِ مئَةً
Dari Abu Said, yaitu Sa'ad Ibn Sinan al-Khudri ra. bahwa
Nabiullah saw. bersabda:
Ada seorang lelaki dari golongan ummat yang sebelummu
telah membunuh sembilan puluh sembilan orang, kemudian ia menanyakan tentang
orang yang teralim dari penduduk bumi, ialu ia ditunjukkan pada seorang
pendeta. lapun mendatanginya dan selanjutnya berkata bahwa sesungguhnya ia
telah membunuh sembilan puluh sembilan orang, apakah masih diterima untuk
bertaubat. Pendeta itu menjawab: Tidak dapat. Kemudian pendeta itu
dibunuhnya dan dengan demikian ia telah menyempurnakan jumlah seratus dengan
ditambah seorang lagi itu.
ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ اْلأَرْضِ
فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ . فَقَالَ : إِنَّهُ قَتَلَ مِئَةَ نَفْسٍ فَهَلْ
لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ فَقَالَ :
نَعَمْ وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ
التَّوْبَةِ اِنْطَلِقْ إِلىَ أَرْضِ
كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاساً يَعْبُدُونَ الله تَعَالَى فَاعْبُدِ اللهَ
مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سُوْءٍ
Lalu ia bertanya lagi tentang orang yang teralim dari
penduduk bumi, kemudian ditunjukkan pada seorang yang alim, selanjutnya ia
mengatakan bahwa sesungguhnya ia telah membunuh seratus manusia, apakah masih
diterima taubatnya.
Orang alim itu menjawab: Ya, masih dapat. Siapa yang
dapat menghalang-halangi antara dirinya dengan taubat itu. Pergilah engkau ke
tanah begini-begini, sebab di situ ada kaum yang menyembah Allah Ta'ala, maka
menyembahlah engkau kepada Allah itu bersama mereka dan janganlah engkau
kembali ke tanahmu sendiri, sebab tanahmu adalah negeri yang buruk.
فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ
أَتَاهُ الْمَوْتُ فاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلائِكَةُ الرَّحْمَةِ ومَلائِكَةُ
الْعَذَابِ . فَقَالَتْ
مَلائِكَةُ الرَّحْمَةِ : جَاءَ تَائِباً مُقْبِلاً بِقَلبِهِ إِلى اللهِ تَعَالَى
وقالَتْ مَلائِكَةُ الْعَذَابِ : إنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيراً قَطُّ
Orang itu terus pergi sehingga di waktu ia telah sampai
separuh perjalanan, tiba-tiba ia didatangi oleh kematian. Kemudian
bertengkarlah untuk mempersoalkan diri orang tadi malaikat rahmat dan malaikat
azab, malaikat rahmat berkata: Orang ini telah datang untuk bertaubat sambil
menghadapkan hatinya kepada Allah Ta'ala. Malaikat azab berkata: Bahwa orang
ini sama sekali belum pernah melakukan kebaikan sedikitpun.
فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ في
صُورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ - أيْ حَكَماً - فقالَ :قِيسُوا مَا بَيْنَ الأَرْضَيْنِ فَإلَى أَيَّتِهِمَا
كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ . فَقَاسُوا فَوَجَدُوهُ أَدْنِى إِلىَ الأرْضِ الَّتِي
أرَادَ فَقَبَضَتْهُ مَلائِكَةُ الرَّحْمَةِ
Selanjutnya ada seorang malaikat yang mendatangi mereka
dalam bentuk seorang manusia, lalu ia dijadikan sebagai pemisah antara
malaikat-malaikat yang berselisih tadi, untuk menetapkan mana yang benar.
Ia berkata: Ukurlah olehmu semua antara dua tempat di
bumi itu, ke mana ia lebih dekat letaknya, maka orang ini adalah untuknya.
Malaikat-malaikat itu mengukur, kemudian didapatinya bahwa orang tersebut
adalah lebih dekat kepada bumi yang dikehendaki -yakni yang dituju untuk
melaksanakan taubatnya. Oleh sebab itu maka ia dijemputlah oleh malaikat
rahmat. (HR. Muttafaq 'alaih)
وفي رواية في الصحيح :فَكَانَ
إلَى الْقَريَةِ الصَّالِحَةِ أَقْرَبَ بِشِبْرٍ فَجُعِلَ مِنْ أَهْلِهَا .
Dalam sebuah riwayat yang sahih disebutkan demikian:
Orang tersebut lebih dekat sejauh sejengkal saja pada pedesaan yang baik itu -
yakni yang hendak didatangi, maka dijadikanlah ia termasuk golongan penduduknya.
وَفِي رِوَايَة في الصَحِيْح : فَأَوْحَى اللهُ
تَعَالَى إِلَى هَذِهِ أَنْ تَبَاعَدِي وإِلَى هَذِهِ أَنْ تَقَرَّبِي وقَالَ :
قِيسُوا مَا بيْنَهُمَا فَوَجَدُوهُ إِلَى هَذِهِ أَقْرَبَ بِشِبْرٍ فَغُفِرَ
لَهُ. وَفِي رِوَايَةٍ : فَنَأَى بِصَدْرِهِ نَحْوَهَا .
Dalam riwayat lain
yang sahih pula disebutkan: Allah Ta'ala lalu mewahyukan kepada tanah yang ini
- tempat asalnya - supaya engkau menjauh dan kepada tanah yang ini - tempat
yang hendak dituju - supaya engkau mendekat - maksudnya supaya tanah asalnya itu
memanjang sehingga kalau diukur akan menjadi jauh, sedang tanah yang dituju itu
menyusut sehingga kalau diukur menjadi dekat jaraknya.
Kemudian firman-Nya: Ukurlah antara keduanya. Malaikat-malaikat itu mendapatkannya bahwa kepada yang ini -yang dituju - adalah lebih dekat sejauh sejengkal saja jaraknya. Maka orang itupun diampunilah dosa-dosanya. Dalam riwayat lain lagi disebutkan: Orang tersebut bergerak - amat susah payah karena hendak mati - dengan dadanya ke arah tempat yang dituju itu.
6 Tidak Melebihi Batas Waktu Taubat
Maksimal waktu sebelum kiamat
مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ
مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
“Barangsiapa bertaubat sebelum matahari terbit dari barat
niscaya Allah menerima taubatnya.”
(HR. Muslim).
Maksimal waktu sebelum kiamat
إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ
لِيَتُوْبَ مُسِيْءُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ فِيْ النَّهَارِ لِيَتُوْبَ
مُسِيْءُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada malam
hari agar bertaubat orang yang berbuat jahat di siang hari dan Dia
membentangkan tangan-Nya pada siang hari agar bertaubat orang yang berbuat
jahat di malam hari, sehingga matahari terbit dari barat (Kiamat).” (HR. Muslim).
Secara individu sebelum kematian datang
إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ العَبْدِ مَالَمْ
يُغَرْغِرْ
“Sesungguhnya Allah menerima taubat seseorang hamba,
selama nyawanya belum sampai di kerongkongan.” (HR. At-Tirmidzi, dan ia menghasankannya).
---
Simak pembahasan kajian ini di : https://youtu.be/LYvHZosaocU
Komentar
Posting Komentar